Mencermati Sambutan di Aceh terhadap Penghargaan UNESCO-Badan PBB
SEJAUH yang saya amati, belum nampak riak-riak sambutan meriah rakyat Aceh akan pemberian penghargaan Unesco terhadap Hikayat Aceh yang hampir dua tahun (18 Mei 2025).
Apa kata dunia?.
Menurut teman saya Prof. Dr. I Nyoman Wijaya, dosen senior Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana (Unud), Denpasar, Bali; kalau hal serupa itu terjadi di Bali, bakal disambut dengan gegap-gempita dan meriah di seluruh Bali. Beliau mencontohkan saat Unesco mengakui Tari Pendet beberapa tahun lalu.
Dalam Hikayat Aceh Nama Sultan Iskandar Muda Tak Tersebut Sekali pun
Oleh: T.A. Sakti
NAMA Sultan Iskandar Muda buat pertama kali dapat dibaca dalam kitab Bustanus Salatin karya Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Dalam Hikayat Malem Dagang kita jumpai pula nama Sultan Iskandar Muda dalam dialek bahasa Aceh: Iseukanda (r) Muda. Menurut para ahli, kedua karya ini ditulis pada abad ke 17 Masehi.
Teuku Iskandar menyebut, Nuruddin Ar-Raniry datang ke Aceh pada tahun 1047 H/1637 M, ketika Sultan Iskandar Muda sudah mangkat (1636) dan menantu beliau Sultan Iskandar Tsani baru saja naik tahta Kerajaan Aceh. Sewaktu Sultan Iskandar Muda masih hidup, Nuruddin Ar-Raniry pernah hendak singgah ke Aceh, tetapi Sultan Iskandar Muda menolak kehadirannya.
Menghadapi kondisi demikian, Ar-Raniry tidak kembali ke negeri asalnya di Gujarat, India, tapi terus berlayar ke Semenanjung Tanah Melayu (sekarang Malaysia) dan menetap di Kerajaan Pahang; negeri asal Sultan Iskandar Tsani. (lihat: Teuku Iskandar, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad, Penerbit Libra, Jakarta, 1996, halaman 400 – 401).
Nama Sultan Iskandar Muda dalam Kitab Bustanus Salatin antara lain disebutkan:”Syahdan adalah diilhamkan Allah ta’ala dalam hati Raja Iskandar Muda memileh Sultan Mughal (nama remaja Sultan Iskandar Tsani – TAS) akan gantinya itu seperti Nabiullah Daud memileh dalam antara segala anaknya Nabiullah Sulaiman akan gantinya.” (Lihat: Nuruddin Ar-Raniry, Bustanus Salatin Bab II, Fasal 13, disusun oleh Dr. T.Iskandar, Dewan Bahasa dan Pustaka – Kementerian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur, 1966, halaman 43).
Dalam Hikayat Malem Dagang, nama Sultan Iskandar Muda juga banyak disebutkan. Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda termasuk orang pertama yang mengkaji Hikayat Malem Dagang.
Dalam bukunya yang sudah diterjemahkan “Aceh di Mata Kolonialis”, jilid II, Snouck Hurgronje menuliskan bahwa Hikayat Malem Dagang disusun tidak lama setelah peristiwa terjadi, yakni masih di abad ke 17 M.
H.K.J. Cowan adalah penulis disertasi tentang Hikayat Malem Dagang tahun 1937. Dalam kajiannya yang berjudul “De Hikajat Malem Dagang”, Cowan juga menegaskan bahwa Hikayat Malem Dagang dikarang pada abad ke 17.
Lebih tegas lagi, Prof. A.Hasjmy mengatakan Hikayat Malem Dagang mulai ditulis pada hari Senin tanggal 27 Rajab 1055 H (1645 M), yaitu pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641 – 1675).
Nama Sultan Iskandar Muda dalam Hikayat Malem Dagang pada salah satu penggalan disebutkan:”Jinoe meuhaba Meukuta Alam, raja jimeunan Eseukanda Muda. Adak kuthee meunoe tungang, Malem Dagang han kuboeh panglima. Jikalee kuboeh Panglima Pidie, mangat meusie mita bicara. Nyoeka kuboeh Malem Dagang, keureuna biek tungang rukon mubaka
( Lalu berkata Mahkota Alam, raja bernama Iskandar Muda. “Kalau kutahu amat pembangkang, Malem Dagang tak kujadikan panglima. Andai kuangkat Panglima Pidie, mudah dicari akal bicara. Kini sudah kuangkat Malem Dagang, karena pemberani, keturunan ternama!”( Lihat: Hikayat Malem Dagang baris 1039 – 1042).
Cucu Kakek
Sultan Iskandar Muda merupakan Raja Maha Besar bagi Kerajaan Aceh Darussalam alias Raja Diraja. Di pihak ayah, ia merupakan cicit dari Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Kahar, Sultan Aceh yang paling gigih menyerang Portugis ke Melaka berkali-kali. Di pihak ibu, Iskandar Muda adalah cucu dari Sultan Saidil Mukammil, raja yang memakmurkan negeri Aceh. Dalam masa pemerintahan Saidil Mukammil, Aceh bersahabat dan damai dengan Portugis.
Dalam menelusuri kisah-kisah dalam naskah Hikayat Aceh yang sudah diakui Unesco sebagai Memory of the World-memori warisan dunia itu, kita mendapati peran kakek, yaitu Sultan Saidil Mukammil terhadap kehidupan Iskandar Muda amat besar dan mendalam.
Bolehlah dikata, Saidil Mukammil yang bergelar Syah Alam-lah yang “memproses” Iskandar Muda menjadi sultan agung di Kerajaan Aceh Darussalam.
Sejak bisa berjalan dan berlari-lari sampai umur 16 tahun, peran ibu dan ayah sama sekali tidak disinggung lagi dalam manuskrip Hikayat Aceh. Selama periode itu, lebih lima puluh halaman ( 126 – 179)teks, melulu menceritakan keakraban antara kakek dan cucu itu.
Nama cucunya, juga sering digonta-ganti oleh sang kakek sebagai pertanda kasihnya. Masa umur di bawah tiga tahun diberi nama Raja Zainal. Saat berumur 3 tahun diganti namanya menjadi Raja Silan.
Ketika beranjak empat tahun ia bernama Abangta Raja Munawar Syah, Hal ini terekam dalam Hikayat Aceh, begini:”Maka sabda Syah ‘Alam kepada Yang Dipertuan (gelar kepala pengawas istana – TAS): “Bahwa cucunda ini janganlah disebut Raja Zainal dan Raja Silan itu.
Maka yang dijatuhkan Allah subhanahu wata’ala ilham ke dalam hati hamba, baik kita sebut Raja Munawar Syah, karena cucu hamba ini pilihan Allah Ta’ala lagi terlalu lebih bahagianya.”(Halaman 127).
Selain Raja Zainal, Raja Silan, dan Raja Munawar Syah; masih ada beberapa lagi nama Sultan Iskandar Muda yang dinamakan kakeknya seperti Pancagah, Darma Wangsa Tun Pangkat, Johan ‘Alam dan Perkasa Alam.
Nampaknya, setelah mendapat nama Raja Munawar Syah , Pancagah, dan Perkasa Alam, maka ketiga nama itulah yang sering digunakan si pengarang Hikayat Aceh.
Misalnya:”Maka tatkala sampailah umur Abangta Raja Munawar Syah , yang bertimang-timangan (nama kesayangan – TAS) Perkasa Alam itu sepuluh tahun, pada masa Syah Alam bertahta kerajaan, maka pada suatu masa datang antusan (utusan – TAS) daripada raja Pertugal dua orang, seorang bernama Dong Dawis dan seorang bernama Dong Tumis.”
Dalam disertasi mengenai Hikayat Aceh, Teuku Iskandar menulis:”.... Teks aslinya sebenarnya adalah Hikayat Iskandar Muda, dengan cacatan di sini, bahwa di dalam seluruh teks itu tidak disebut-sebut nama Iskandar Muda.
Penulisnya menyebut pahlawan itu sekali dengan panggilan Pancagah dan Johan Alam dan lain kali dengan panggilan Perkasa Alam.
Nama Iskandar Muda untuk pertama kali dinyatakan di dalam Bustanussalatin dan Hikayat Malem Dagang.” (Halaman 19)
Dalam disertasi mengenai “Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636)”,yang dipertahankan Denys Lombard di Universitas Paris, Perancis, sejarawan kawakan itu menulis tentang Hikayat Aceh:
“Akan tetapi perlu dicatat bahwa nama Iskandar Muda sendiri yang tidak disandangnya sebelum ia naik tahta, tiada termuat dalam bagian yang tersimpan sampai sekarang. Raja itu berturut-turut dinamakan Pancagah, Johan Alam dan Perkasa Alam.” (Halaman 26 – 27)
Dapat disimpulkan, bahwa dalam seluruh isi naskah Hikayat Aceh; tidak satu kali pun pernah disebut nama Sultan Iskandar Muda. Sebab, seperti pendapat kebanyakan sejarawan yang mengkaji sejarahnya, bahwa nama Iskandar Muda merupakan gelar yang disahkan setelah beliau dilantik menjadi Sultan Kerajaan Aceh Darussalam.
Sayangnya, manuskrip bagian itu sudah hilang “dibajak orang”!.
*T. Abdullah, Penulis tesis “Historiografi Lokal di Aceh, Studi terhadap Hikayat Malem Dagang”, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, 2015, melaporkan dari Gampong Tanjung Selamat, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar.
Tambeh: Reportase ini pernah dimuat dalam rubrik “Jurnalisme Warga” Harian Serambi Indonesia; 15 Juli 2024/9 MUHARRAM 1446, saat saya menyambut SETAHUN “Hikayat Aceh” diakui Unesco, Badan PBB sebagai Memori Warisan Budaya Dunia(18 Mei 2023).
(T.A. Sakti)
Terbit kembali oleh
Redaksi : Islamic tekhno tv.com
Posting Komentar untuk "Hikayat Aceh Pernah Mendapat Penghargaan UNESCO PBB "