Takbir Hari Raya Antara Anjuran, Syiar dan Budaya

Takbir Hari Raya antara Anjuran Syiar dan Budaya by. ust.Bustami, S.Ag.,M.Pd

Takbir Hari Raya: Antara Anjuran, Syiar, dan Budaya

Takbir Hari Raya adalah amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam, baik pada Idul Fitri maupun Idul Adha. Takbir memiliki makna tauhid yang mendalam, menegaskan kebesaran Allah dan rasa syukur atas nikmat yang diberikan. Namun, dalam praktiknya, ada perbedaan dalam tata cara, waktu, dan konteks pelaksanaannya, yang terbagi antara aspek anjuran syar'i (ibadah), syiar Islam, dan budaya yang berkembang di masyarakat Muslim.

1. Takbir sebagai Anjuran Syariat (Ibadah Sunnah)

Takbir Hari Raya memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur'an dan Hadis. Dalam Al-Qur'an, Allah memerintahkan agar kaum Muslimin bertakbir sebagai ungkapan syukur atas selesainya ibadah:

 وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

(QS. Al-Baqarah: 185)

Dalam hadis, Nabi ﷺ dan para sahabat selalu bertakbir pada Hari Raya. Dari Abdullah bin Umar رضي الله عنهما, ia berkata:

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يُكَبِّرُ يَوْمَ الْفِطْرِ مِنْ حِينَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى

“Bahwa Rasulullah ﷺ bertakbir pada hari Idul Fitri dari sejak keluar rumahnya hingga sampai di tempat salat.”

(HR. Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, no. 6182, sanadnya shahih)

2. Takbir sebagai Syiar Islam

Dalam Islam, takbir juga berfungsi sebagai syiar, yaitu simbol keagungan Islam yang ditampakkan kepada publik. Hal ini didukung oleh beberapa hadis, seperti:

زَيِّنُوا أَعْيَادَكُمْ بِالتَّكْبِيرِ

“Hiasilah hari raya kalian dengan takbir.”

(HR. Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, no. 10904, dari Abu Hurairah رضي الله عنه, sanadnya hasan)

Para ulama menegaskan bahwa syiar Islam harus ditampakkan secara berjamaah dan masif. Takbir di masjid, jalan, dan tempat umum termasuk bentuk syiar Islam. Imam Asy-Syafi'i dalam Al-Umm (1/231) menyatakan:

 وَأُحِبُّ أَنْ يُكَبِّرَ النَّاسُ جَهْرًا فِي الْمَسْجِدِ وَالْأَسْوَاقِ وَالطُّرُقِ وَالْمَنَازِلِ

“Aku menyukai agar orang-orang bertakbir dengan suara lantang di masjid, pasar, jalan, dan rumah-rumah mereka.”

Pendapat ini juga dipegang oleh mayoritas mazhab, seperti Mazhab Hanbali dan Maliki, yang menekankan bahwa takbir merupakan syiar yang harus ditampakkan secara kolektif.

3. Takbir sebagai Budaya dalam Masyarakat Muslim

Dalam beberapa budaya Islam, takbir dikembangkan dalam bentuk lantunan tertentu, seperti:

Takbir dengan irama khas di Indonesia, Timur Tengah, dan Afrika.

Tradisi takbir keliling di Indonesia dengan lampion dan alat musik rebana.

Di Mesir, masyarakat bertakbir dengan pola yang panjang dan merdu

Meski secara prinsip takbir adalah ibadah, variasi dalam melantunkannya lebih kepada aspek budaya selama tidak bertentangan dengan syariat. Para ulama membolehkan variasi ini selama tetap dalam batasan yang dibenarkan. Imam Nawawi dalam Al-Majmu' (5/39) mengatakan:

لَا بَأْسَ بِأَنْ يُقْتَدَى بِاللَّحْنِ مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ مُنْكَرٌ أَوْ تَغَيِيرٌ لِلْمَعْنَى

“Tidak mengapa meniru suatu irama selama tidak mengandung kemungkaran atau mengubah makna.”

4. Waktu dan Lafaz Takbir Hari Raya

Para ulama membagi takbir menjadi dua:

1. Takbir Muthlaq (Bebas) – Dimulai sejak awal Dzulhijjah (1 Dzulhijjah hingga 13 Dzulhijjah) dan dari malam Idul Fitri hingga pagi sebelum salat Id

2. Takbir Muqayyad (Terikat) – Dilakukan setelah salat fardu, khususnya pada Idul Adha (mulai subuh 9 Dzulhijjah hingga Asar 13 Dzulhijjah).

Lafaz takbir yang disunnahkan adalah:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan segala puji bagi Allah.”

5. Pendapat Para Ulama tentang Takbir Hari Raya

1. Mazhab Hanafi – Takbir dianjurkan dengan suara keras secara berjamaah, terutama pada Idul Adha

2. Mazhab Maliki – Takbir adalah syiar, tetapi dilakukan tanpa irama tertentu

3. Mazhab Syafi’i – Menganjurkan takbir dengan suara lantang di rumah, pasar, dan masjid

4. Mazhab Hanbali – Menyatakan bahwa takbir harus dikumandangkan sejak awal Dzulhijjah dengan suara keras.

6. Kitab dan Buku Rujukan

Tafsir Al-Qurthubi (Juz 2, Tafsir QS. Al-Baqarah: 185)

Al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i

Al-Mughni karya Ibnu Qudamah

Al-Majmu' karya Imam Nawawi

Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kesimpulan

Takbir Hari Raya adalah anjuran ibadah yang memiliki dimensi syiar dan budaya. Sebagai ibadah, takbir merupakan ungkapan syukur kepada Allah. Sebagai syiar, takbir harus ditampakkan secara masif di masyarakat. Sebagai budaya, variasi dalam pelaksanaannya diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat. Perbedaan dalam tata cara takbir di berbagai negara adalah bentuk keindahan Islam yang tetap berpegang pada esensi utamanya, yaitu mengagungkan Allah سبحانه وتعالى.

Redaksi : Islamic tekhno tv.com


Posting Komentar untuk "Takbir Hari Raya Antara Anjuran, Syiar dan Budaya"